Pangkalpinang, SuaraBabelNews.com, —
Dalam dinamika organisasi kemahasiswaan, semangat kritis dan sikap konstruktif harus berjalan beriringan. Pernyataan “Menjadi Organisator Sejati : Membangun Bukan Menjatuhkan”, bukan sekadar slogan, melainkan prinsip dasar yang seharusnya tertanam dalam setiap jiwa aktivis.
Organisasi adalah wadah pembelajaran, tempat menempa diri menjadi pribadi yang tangguh, berpikir strategis, dan berjiwa besar. Namun, tidak sedikit yang terjebak dalam euforia kekuasaan semu, menjadikan organisasi sebagai ajang saling menjatuhkan demi ambisi pribadi. Sikap seperti ini bukan hanya mencederai nilai-nilai pergerakan, tetapi juga merusak ekosistem intelektual dan moral yang seharusnya dibangun bersama.
Menjadi organisator sejati berarti hadir sebagai agen perubahan yang solutif, bukan provokatif. Kita dituntut untuk mampu menyampaikan kritik secara elegan, berlandaskan data dan etika, bukan dengan ujaran kebencian atau manuver destruktif. Budaya adu gagasan harus lebih diutamakan daripada adu kepentingan atau adu kekuasaan.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) : sebagai gerakan mahasiswa yang berbasis pada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah, mengajarkan pentingnya tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran). Nilai-nilai ini seharusnya menjadi fondasi dalam setiap tindakan organisasi, termasuk dalam menghadapi perbedaan pandangan sekalipun.
Sudah saatnya kita kembali pada esensi organisasi: membangun kader, menguatkan solidaritas, dan memperjuangkan nilai kebaikan bersama. Karena pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling lantang berteriak, melainkan siapa yang paling tulus bekerja dan memberi dampak. (Jum’at, 9 Mei 2025).
Oleh : Ariansyah, Ketua PMII Rayon Dakwah IAIN SAS Bangka Belitung